Pembahasan tentang dinamika Iman, semoga kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari uraian ini, dan semoga kita menjadi hamba Allah yang memiliki iman yang kokoh. Aamiin
Tidak bisa dikatakan beriman
seseorang, bila ia tidak memenuhi tiga kriteria kelengkapan iman tersebut.
Misalnya seperti paman Nabi saw. yakni Abu Thalib, yang sebenarnya di lubuk
hatinya meyakini kebenaran risalah yang dibawa kemenakannya dan sikap serta
perilakunya menunjukkan bahwa ia selalu siap menjaga dan melindungi Rasulullah.
Namun karena beliau tidak juga kunjung mau melafalkan keimanannya, maka beliau
mati tetap dalam keadaan kafir dan dikatakan kelak masuk neraka, walaupun
dengan hukuman teringan. Hal yang sebaliknya justru ada pada tokoh munafik
yakni Abdullah bin Ubay bin Salul. Sosok ini menggembor-gemborkan lafas
keimanannya dan menunjukkan sikap serta amalan selaku seorang muslim, tetapi
hatinya mengingkari hal itu dan senantiasa diliputi hasad, kebusukan dan
kebencian sehingga selalu secara diam-diam sibuk melakukan intrik-intrik,
manuver-manuver, ”kasak-kusuk”, membuat dan menyebarkan isu, fitnah dan
provokasi. Pendek kata benar-benar musuh dalam selimut yang menggunting dalam
lipatan
Selanjutnya tipe ketiga, yakni
tipe orang yang meyakini keimanan dalam hatinya, melafalkannya namun enggan
melaksanakan konsekuensi-konsekuensi keimanannya tersebut. Orang-orang seperti
ini dikategorikan orang-orang “fasiq”.
Kemudian
hal-hal apa saja yang harus diimani? Obyek yang harus diimani adalah semua yang
termasuk dalam rukun iman yang enam, seperti yang tercantum dalam QS Al-Baqarah
ayat 285 dan kemudian hadist Jibril yang terkenal. Keenam rukun iman tersebut
ialah iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, takdir yang baik dan buruk serta hari kiamat
Keimanan seseorang terhadap rukun
iman tersebut membawa konsekuensi-konsekuensi logis yang harus dijalaninya.
Iman kepada Allah seyogianya membuat seseorang menjadi taat kepada-Nya,
menjalankan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya
serta selalu bersandar dan memohon pertolongan kepada-Nya, takut kepada ancaman
dan neraka-Nya dan rindu serta mengharapkan ampunan, pahala dan syurga-Nya. Di
samping itu tentu saja selalu ingat dan bersyukur kepada-Nya.
Berikutnya iman kepada malaikat
membawa konsekuensi kita berhati-hati dalam sikap, perkataan, dan perbuatan
karena di kanan dan di kiri kita ada Raqib dan Atid yang siap mencatat segala
yang baik maupun yang buruk yang kita kerjakan.
Sedangkan iman kepada
kitab-kitab-Nya membuat kita mengimani semua kitab suci yang berasal dari-Nya.
Namun kitab-kitab suci terdahulu adalah sesuatu yang sudah habis masa
berlakunya dan telah dikoreksi dan disempurnakan di dalam kitab yang terakhir:
Al-Qur’an. Sehingga Al-Qur’an sajalah yang menjadi sumber acuan kita dalam
segala aspek kehidupan.
Kemudian iman kepada nabi-nabi
membawa konsekuensi kita harus meneladaninya. Dan tidak membeda-bedakannya (QS
2:285). Namun tentu saja uswah dan panutan utama kita adalah Rasulullah
Muhammad SAW (QS 33:21)
Berikutnya iman kepada takdir
yang baik dan buruk membuat kita akan selalu berusaha, berikhtiar optimal dan
kemudian bertawakal atau berserah diri kepada Allah. Jika berhasil, itu berarti
takdir baik berupa karunia Allah yang haus disyukuri dan bila gagal atau
terkena musibah, itu berarti taqdir buruk berupa cobaan yang harus disabari dan
diterima.
Dan akhirnya iman kepada hari
akhir atau kiamat akan menyebabkan kita selalu waspada dan berhitung atau
mengkalkulasi pahala dan dosa kita serta mempersiapkan bekal untuk hari kiamat
itu (QS 59:18) berupa ketakwaan karena segala sesuatunya akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.
Dinamika iman dan bagaimana berinteraksi dengan kedinamisan iman tersebut.
قَالَتِ
الْأَعْرَابُ ءَامَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا
وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ
وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badwi itu berkata, “Kami telah
beriman". Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi
katakanlah, “Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu dan jika kamu ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan
mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Hujurat:14)
Dari ayat tersebut di atas kita
bisa melihat bahwa masalah iman bukanlah masalah sederhana, karena dibutuhkan
waktu, jihad, kesungguh-sungguhan dalam ibadah, ketabahan selain juga faktor
hidayah untuk membuat keimanan seseorang benar-benar mengakar, menukik, bahkan
menghunjam ke dalam lubuk hati.
Kemudian persoalan berikutnya
adalah kenyataan bahwa iman itu dinamis, fluktuatif atau turun-naik. Jadi
setelah iman sudah ada di dalam hati, penting untuk selalu dideteksi apakah
iman kita meningkat dan bertambah atau justru menurun dan berkurang.
Dalam hadis Nabi saw. disebutkan,
“Al-iman yazid wa yanqush” (Iman bisa bertambah atau berkurang).
Karena itu seorang yang beriman harus selalu berusaha memperbaharui dan
meningkatkan keimanan nya. Seperti halnya tanaman, pohon, atau tumbuh-tumbuhan
yang dapat kering, layu, atau bahkan mati bila tak disiram atau diberi pupuk,
demikian pula halnya dengan keimanan yang dimiliki seseorang.
Begitu rentannya hati terhadap
fluktuasi iman digambarkan oleh Abdullah bin Rawahah ra, “Berbolak-baliknya hati lebih cepat dibanding air yang menggelegak di
periuk tatkala mendidih.” Dari tinjauan etimologisnya saja, hati, qalban
adalah sesuatu yang berbolak-balik sudah, nampak pula kerentanannya. Dan karena
iman tempat di hati, seyogianyalah kita mewaspadai berbolak-baliknya hati dan
turun naiknya iman.
Karena itu dalam surat Ali Imran:
8, Allah menuntun agar kita berdoa minta diberikan hidayah, rahmat dan
ketetapan hati. Demikian pula doa yang dicontohkan Nabi saw. ”Ya Allah, yang pandai membolak-balikkan
hati, tetapkan hati hamba pada agamamu.” Mengapa kita harus terus berdoa
seperti itu? Karena usaha menjaga keimanan agar tetap survive dan kalau bisa
meningkat adalah hal yang sangat berat, apalagi sampai membuat iman itu
berbuah.
Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
pernah mengungkapkan kata-kata bijak, ”Dunia
adalah ladang tempat menanam kebajikan yang hasilnya akan kita tuai, panen di
akhirat kelak.”
Menurut Ibnul Qayyim pula, iman
yang dimiliki seseorang adalah modal berupa bibit. Dan agar bibit itu tumbuh
dan berbuah ia harus senantiasa disiram dan dipupuk oleh ketaatan kepada Allah.
Kita memang tidak bisa mengukur
atau memprediksikan besar kecilnya kadar keimanan seseorang, namun paling tidak
kita bisa melihat bias dan imbas keimanannya dari libasut taqwa, pakaian takwa yang dimilikinya dan implementasi iman
berupa ibadah, amal shaleh dan ketaatan yang dilakukannya.
Seberapa besar dan banyak bibit
yang dimiliki seseorang dan sejauh mana ia merawat, menjaga, menyirami dan
memberinya pupuk dengan ketaatannya kepada Allah, maka sebegitu pulalah buah
yang akan dituainya kelak di akhirat.
Rasulullah saw. pun menegaskan, “Al iman yaazidu bi thoat wa yanqushu bil
maksiat. Iman akan bertambah/meningkat dengan ketaatan dan akan berkurang
atau menurun dengan kemaksiatan yang dilakukan.
1. Sebab-sebab bertambah dan berkurangnya iman
Merujuk kepada hadis Nabi saw. di
atas, jelas nampak bahwa sebab utama bertambahnya keimanan seseorang adalah
jika ia berusaha selalu taat kepada Allah. Allah akan mencintai dan merahmati
orang-orang yang taat kepada-Nya dan rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132). Semakin
besar ketaatan yang diberikan seseorang kepada Allah apakah itu dalam rangka
menuruti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya maka akan semakin meningkatlah
kadar keimanannya.
Sebab-sebab yang lainnya yang
juga bisa menjaga dan meningkatkan kadar keimanan adalah bila seseorang selalu
mengingat Allah dan banyak bersyukur kepada-Nya. Atau bila diberi cobaan berupa
musibah tetap sabar dan bersandar pada Allah serta tak pernah berburuk sangka
pada-Nya (QS 29: 2) karena cobaan memang secara sunatullah terkait dengan
pengujian kadar keimanan.
Ada sebuah siklus positif yang
bisa terjadi pada diri seorang mukmin yakni bila ia memiliki keimanan, iman
akan mendorongnya taat, menjalankan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang
dikehendaki-Nya (QS 51: 56). Kemudian ibadah akan menghasilkan ketakwaan dan
ketakwaan dengan sendirinya akan meningkatkan keimanan seseorang.
Sedangkan sebab menurun atau
berkurang dan bahkan hilangnya keimanan seseorang adalah maksiat yang
dilakukannya. Semakin banyak kemaksiatan kepada Allah yang dilakukan seseorang
akan semakin menurun kadar keimanannya. Bahkan jika seseorang terjerumus
melakukan dosa besar, pada saat ia melakukan maksiat itu dikatakan iman nya
habis sama sekali.
Imam Ghazali mengumpamakan hati
seseorang seperti lembaran putih bersih. Dosa yang disebabkan maksiat yang
dilakukannya akan menyebabkan titik hitam di lembaran putih itu. Semakin banyak
dosa kemaksiatan yang dilakukannya, maka lembaran itu akan hitam kelam. Dan
hati yang pekat seperti itu tidak lagi sensitif terhadap dosa-dosanya.
Artinya tidak ada perasaan takut
atau menyesal pada saat atau sesudah melakukan kemaksiatan. Apabila kemaksiatan
yang dilakukan seseorang masih terkatagori as
sayyiat atau dosa kecil, maka kebajikan-kebajikan yang kita lakukan insya
Allah akan mengkompensasi dosa dosa kecil tersebut. Dalam hadis Nabi SAW
dikatakan, “Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik dan pergaulilah manusia dengan akhlak
yang baik. “
Sementara itu di dalam surat Ali
Imran ayat 135 disebutkan ciri orang beriman dan bertakwa adalah bila melakukan
kekejian atau menzhalimi diri sendiri (dengan berbuat dosa ) mereka cepat-cepat
ingat Allah dan mohon ampunan atas dosa-dosanya Allah Taala memang menyuruh
kita bersegera bertobat memohon ampunan dan surga-Nya (QS 3: 133).
Hal yang harus dipenuhi dalam
tobat adalah adanya unsur menyesali maksiat yang dilakukan, kemudian berhenti
dan ketika berjanji sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya lagi.
2. Dampak Positif
atau Manfaat Kekuatan Iman
a. Memiliki
kekuatan hubungan dengan Allah. ”Al-quwwatu
silah billah“ (kekuatan hubungan dengan Allah ) adalah buah keimanan yang
paling nyata. Karena seorang mukmin yang memiliki kekuatan hubungan dengan
Allah tidak akan pernah berputus asa dari rahmat Allah, ia tidak akan karam
dalam keputus-asaan. Karena ia akan selalu berpaling kepada Allah. Ia yakin
Allah akan selalu menolong dan tidak pernah mengecewakannya. Cobaan sebesar
apapun tak pernah membuatnya berburuk sangka terhadap Allah.
b. Memiliki
ketenangan dan ketenteraman jiwa. Iman yang dimiliki seseorang membuatnya tidak
pernah takut pada manusia sepanjang ia tidak melakukan kesalahan. Ia hanya
takut kepada Allah saja. Dengan mengingat Allah, hatinya akan senantiasa
diliputi ketenteraman dan ketenangan (QS 13:28), sehingga Rasulullah saw.
bersabda, “Sungguh menakjubkan urusannya
orang beriman, bila diberi karunia ia bersyukur dan itu baik untuknya. Dan bila
diberi musibah ia bersabar dan itu lebih baik untuknya.”
Iman dalam diri seorang mukmin menjadi stabilisator bagi
jiwanya. Karunia yang teramat besar tidak akan pernah membuatnya ujub, takabur
atau lupa diri melainkan ia tetap tenang dan mengembalikannya kepada Dzat yang
Maha memberi: bahwa itu semua karunia Allah. Dan cobaan sebesar dan seberat
apapun juga tidak akan membuatnya hilang akal, terguncang jiwanya dan berburuk
sangka atau berpaling dari Allah.
c. Memiliki
kemampuan memikul beban apakah itu beban kehidupan ataupun beban dijalan Allah.
Orang yang beriman akan mampu memikul beban kehidupan ataupun beban di jalan
Allah tanpa berkeluh kesah. Ia akan berikhtiar semaksimal mungkin dan
mengembalikan masalah hasilnya kepada Allah.
Fatimah putri Nabi saw. adalah contoh luar biasa seseorang
yang ikhlas dan sanggup memikul beban yang berat. Suatu saat ketika ia bersama
bapak dan ibunya serta pengikut –pengikut risalah bapaknya dan juga kaum nya
mengalami tahun-tahun sulit masa pemboikotan, ibunda Khadijah sempat dengan
sendu berujar kepadanya “Kasihan anakku sekecil ini kau sudah menderita,”
jawaban Fatimah benar-benar mencengangkannya, “Ibu …mengapa ibu berkata begitu? cobaan yang lebih berat dari ini pun
aku sanggup”
Memiliki ketabahan dan kesabaran dalam menanggulangi
musibah. Sesungguhnya setiap mukmin akan dicoba oleh Allah dengan berbagai
cobaan keimanan. Dan siapa yang sabar dan mengembalikan segalanya kepada Allah,
ia akan diberi kabar gembira berupa, kasih sayang, kesertaan, ampunan dan
surganya. Ketabahan dan kesabaran memang tak ada batasnya. Namun balasan dari
Allah bagi orang –orang yang sabar pun tak ada batasnya. Tak terhitung dan
berlimpah ruah seperti luapan air bah.
3. Tanda-tanda keimanan
Bukti keimanan seseorang yang paling nyata tentu saja adalah
amal shaleh yang dilakukannya dan libasut
taqwa (pakaian takwa) yang dikenakannya. Yang membedakan seorang muslim
dari kufri adalah keimanannya kepada hal yang ghaib. Kemudian juga shalat
karena dalam hadis dikatakan:bainal abdi wal kafir tarkus shalat , bainal abdi was syirik tarkus shalat (batas
antara seorang hamba Allah dengan yang kafir adalah meninggalkan shalat dan
batas seorang hamba Allah dengan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat. )
Di dalam QS 49:15 disebutkan orang yang beriman ialah yang
tak pernah sedikit pun ragu terhadap yang diimaninya. Kemudian mampu mengatasi
ujian-ujian keimanan dari Allah (QS 29:2) ada satu surat di dalam Al Quran yang
berjudul Al-Mu’minun (orang-orang beriman )
Surat itu merinci karakterikristik orang -orang yang beriman
yakni khusyuk dalam shalat, menjauhi perbuatan dan perkataan yang sia-sia,
menunaikan zakat, menjaga kemaluannya, menjaga amanah-amanah dan menepati janji
serta menjaga shalat-shalatnya.
Orang yang beriman dengan memenuhi kriteria-kriteria di atas
akan mewarisi syurga Firdaus dan kekal di dalamnya selama-lamanya.
Ciri mukmin yang lain ada pada QS 48:29, yang bahkan ciri keimanannya
itu tampak pula secara fisik berupa dahi yang hitam /berbekas karena selalu
bersujud kepada-Nya.
Dan akhirnya orang yang istiqamah dalam keimanannya akan
selalu memiliki sikap at tafa’ul
(optimis), as syajaah (berani), dan ith mi’nan (tenang ) dalam kehidupan
ini.
4. Terapi atau cara meningkatkan keimanan
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan
keimanan seseorang di antaranya ialah:
a. Shalat
tepat waktu dan khusyu, juga memperbanyak shalat nawaafil.
b. Shaum.
Selain shaum di bulan Ramadhan juga shaum-shaum sunnah seperti Senin-Kamis,
Ayyamul Bidh, Daud, Arafah, dan lain-lain.
c. Memperbanyak
tilawah quran. Dalam QS 8:2 disebutkan ciri orang beriman ialah mereka yang
bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka dan bila dibacakan ayat-ayat
Allah bertambah tambahlah keimanan mereka.
d. Dzikir
dan takafur. Rasulullah saw. terlihat menangis ketika turun surat QS 3:
190-191. Bilal lalu bertanya dan beliau menjawab: celakalah orang yang membaca
ayat ini namun tak kunjung menarik pelajaran darinya. Dan kedua ayat tersebut
berisikan tentang bertakafur terhadap tanda-tanda kekuasaannya.
e. Jalasah
ruhiah. Acara mabit, menginap, qiamul lail dan sahur bersama untuk kemudian
berpuasa dan bila memungkinkan ifthar shaum bersama dengan didahului taujih, ruhiah
akan besar efeknya bagi keimanan seseorang. Muadz bin Jabbal dulu acap mengajak
sahabat-sahabat yang lain, “ijlis bina‘
nu’minu sa’ah” (duduklah bersama kami, berimanlah sejenak dengan penuh
konsentrasi).
f. Dzikrul
maut. Mengingat kematian yang pasti datangnya apakah dengan menjenguk dan
mentalkinkan orang yang sakaratul maut atau memandikan, mengkafani dan
menguburkan maupun ziarah kubur kesemuanya juga dapat meningkatkan keimanan
seseorang.
SUPLEMEN
Akidah secara etimologis berarti yang terikat. Dr Abdullah
Azzam mendefinisikan istilah akidah sebagai perjanjian yang teguh dan kuat,
terpatri dalam hati dan tertanam di lubuk hati yang paling dalam. Sementara
Imam Syahid Hasan Al-Banna menjabarkan akidah sebagai urusan yang wajib
diyakini kebenarannya oleh hati menenteramkan jiwa dan menjadi keyakinan yang
tidak bercampur dengan keraguan.
Akidah yang diajarkan Rasulullah saw. adalah tauhid dan
tujuannya ialah untuk memperkuat ikatan /keyakinan dan hubungan dengan Allah.
Ada dua metode dalam mempelajari akidah atau yang berkaitan
dengan masalah keimanan.
1. Metode asasi yakni metode salafi atau salafus shaleh.
2. Metode ghairu asasi yakni metode ilmu kalam.
Metode asasi adalah metode yang digunakan kaum salafus
shaleh yakni metode yang digunakan di era Rasulullah, di era sahabat, tabi’in
dan tabit tabi’in.
Metode ini adalah suatu cara mengenal Allah melalui Allah
seperti ungkapan Abu Bakar Sidik, “Kalau Allah tidak memperkenalkan dirinya
kepadaku niscaya aku tidak mengenalnya”.
Metode ini merupakan metode ahlus sunnah wal jama’ah dan
metode yang kamil serta syamil.
Sementara metode kedua adalah metode ghairu asasi yang lebih
dikenal sebagai metode ilmu kalam yakni menggunakan upaya pendekatan filosofis
dan daya nalar dalam masalah keimanan atau akidah.
Metode ilmu kalam terbukti tidak dapat memberi atsar atau
pengaruh keimanan bagi orang yang mempelajarinya juga tidak bisa menuntun
kepada perilaku atau akhlak yang islami. Dan bukannya membuat kita semakin
yakin malah semakin ragu kepada Allah dan Risalahnya.
Tokoh-tokoh ilmu kalam adalah Abul Hasan Al-Asyhari, Imam
Ar-Razi dan Imam Al-Juwairi, namun mereka akhirnya insaf dan menyadari bahwa
metode paling efektif dalam mempelajari dan menanamkan keimanan adalah metode
Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
di tunggu updatenya
ReplyDelete