Thursday, November 22, 2012

DINAMIKA IMAN

Pembahasan tentang dinamika Iman, semoga kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari uraian ini, dan semoga kita menjadi hamba Allah yang memiliki iman yang kokoh. Aamiin

Makna iman dalam perspektif Islam bukanlah sekadar percaya melainkan harus melingkupi tiga aspek yang kesemuanya ada pada manusia yakni qalb (hati), lisan dan amal shaleh. Artinya seseorang yang beriman harus meyakini dalam hatinya dengan sesungguh-sungguhnya tentang semua hal yang harus diyakininya. Kemudian menjelaskan dengan lisannya sebagai sebuah pernyataan keimanan yang membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu. Dan akhirnya dijabarkan dan dibuktikan secara kongkrit dalam amal perbuatannya
Tidak bisa dikatakan beriman seseorang, bila ia tidak memenuhi tiga kriteria kelengkapan iman tersebut. Misalnya seperti paman Nabi saw. yakni Abu Thalib, yang sebenarnya di lubuk hatinya meyakini kebenaran risalah yang dibawa kemenakannya dan sikap serta perilakunya menunjukkan bahwa ia selalu siap menjaga dan melindungi Rasulullah. Namun karena beliau tidak juga kunjung mau melafalkan keimanannya, maka beliau mati tetap dalam keadaan kafir dan dikatakan kelak masuk neraka, walaupun dengan hukuman teringan. Hal yang sebaliknya justru ada pada tokoh munafik yakni Abdullah bin Ubay bin Salul. Sosok ini menggembor-gemborkan lafas keimanannya dan menunjukkan sikap serta amalan selaku seorang muslim, tetapi hatinya mengingkari hal itu dan senantiasa diliputi hasad, kebusukan dan kebencian sehingga selalu secara diam-diam sibuk melakukan intrik-intrik, manuver-manuver, ”kasak-kusuk”, membuat dan menyebarkan isu, fitnah dan provokasi. Pendek kata benar-benar musuh dalam selimut yang menggunting dalam lipatan

Selanjutnya tipe ketiga, yakni tipe orang yang meyakini keimanan dalam hatinya, melafalkannya namun enggan melaksanakan konsekuensi-konsekuensi keimanannya tersebut. Orang-orang seperti ini dikategorikan orang-orang “fasiq”.
Kemudian hal-hal apa saja yang harus diimani? Obyek yang harus diimani adalah semua yang termasuk dalam rukun iman yang enam, seperti yang tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 285 dan kemudian hadist Jibril yang terkenal. Keenam rukun iman tersebut ialah iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, takdir yang baik dan buruk serta hari kiamat
Keimanan seseorang terhadap rukun iman tersebut membawa konsekuensi-konsekuensi logis yang harus dijalaninya. Iman kepada Allah seyogianya membuat seseorang menjadi taat kepada-Nya, menjalankan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya serta selalu bersandar dan memohon pertolongan kepada-Nya, takut kepada ancaman dan neraka-Nya dan rindu serta mengharapkan ampunan, pahala dan syurga-Nya. Di samping itu tentu saja selalu ingat dan bersyukur kepada-Nya.
Berikutnya iman kepada malaikat membawa konsekuensi kita berhati-hati dalam sikap, perkataan, dan perbuatan karena di kanan dan di kiri kita ada Raqib dan Atid yang siap mencatat segala yang baik maupun yang buruk yang kita kerjakan.
Sedangkan iman kepada kitab-kitab-Nya membuat kita mengimani semua kitab suci yang berasal dari-Nya. Namun kitab-kitab suci terdahulu adalah sesuatu yang sudah habis masa berlakunya dan telah dikoreksi dan disempurnakan di dalam kitab yang terakhir: Al-Qur’an. Sehingga Al-Qur’an sajalah yang menjadi sumber acuan kita dalam segala aspek kehidupan.
Kemudian iman kepada nabi-nabi membawa konsekuensi kita harus meneladaninya. Dan tidak membeda-bedakannya (QS 2:285). Namun tentu saja uswah dan panutan utama kita adalah Rasulullah Muhammad SAW (QS 33:21)
Berikutnya iman kepada takdir yang baik dan buruk membuat kita akan selalu berusaha, berikhtiar optimal dan kemudian bertawakal atau berserah diri kepada Allah. Jika berhasil, itu berarti takdir baik berupa karunia Allah yang haus disyukuri dan bila gagal atau terkena musibah, itu berarti taqdir buruk berupa cobaan yang harus disabari dan diterima.
Dan akhirnya iman kepada hari akhir atau kiamat akan menyebabkan kita selalu waspada dan berhitung atau mengkalkulasi pahala dan dosa kita serta mempersiapkan bekal untuk hari kiamat itu (QS 59:18) berupa ketakwaan karena segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.

Dinamika iman dan bagaimana berinteraksi dengan kedinamisan iman tersebut.

قَالَتِ الْأَعْرَابُ ءَامَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badwi itu berkata, “Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, “Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (Q.S. Al-Hujurat:14)
Dari ayat tersebut di atas kita bisa melihat bahwa masalah iman bukanlah masalah sederhana, karena dibutuhkan waktu, jihad, kesungguh-sungguhan dalam ibadah, ketabahan selain juga faktor hidayah untuk membuat keimanan seseorang benar-benar mengakar, menukik, bahkan menghunjam ke dalam lubuk hati.
Kemudian persoalan berikutnya adalah kenyataan bahwa iman itu dinamis, fluktuatif atau turun-naik. Jadi setelah iman sudah ada di dalam hati, penting untuk selalu dideteksi apakah iman kita meningkat dan bertambah atau justru menurun dan berkurang.
Dalam hadis Nabi saw. disebutkan, “Al-iman yazid wa yanqush” (Iman bisa bertambah atau berkurang). Karena itu seorang yang beriman harus selalu berusaha memperbaharui dan meningkatkan keimanan nya. Seperti halnya tanaman, pohon, atau tumbuh-tumbuhan yang dapat kering, layu, atau bahkan mati bila tak disiram atau diberi pupuk, demikian pula halnya dengan keimanan yang dimiliki seseorang.
Begitu rentannya hati terhadap fluktuasi iman digambarkan oleh Abdullah bin Rawahah ra, “Berbolak-baliknya hati lebih cepat dibanding air yang menggelegak di periuk tatkala mendidih.” Dari tinjauan etimologisnya saja, hati, qalban adalah sesuatu yang berbolak-balik sudah, nampak pula kerentanannya. Dan karena iman tempat di hati, seyogianyalah kita mewaspadai berbolak-baliknya hati dan turun naiknya iman.
Karena itu dalam surat Ali Imran: 8, Allah menuntun agar kita berdoa minta diberikan hidayah, rahmat dan ketetapan hati. Demikian pula doa yang dicontohkan Nabi saw. ”Ya Allah, yang pandai membolak-balikkan hati, tetapkan hati hamba pada agamamu.” Mengapa kita harus terus berdoa seperti itu? Karena usaha menjaga keimanan agar tetap survive dan kalau bisa meningkat adalah hal yang sangat berat, apalagi sampai membuat iman itu berbuah.
Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah mengungkapkan kata-kata bijak, ”Dunia adalah ladang tempat menanam kebajikan yang hasilnya akan kita tuai, panen di akhirat kelak.”
Menurut Ibnul Qayyim pula, iman yang dimiliki seseorang adalah modal berupa bibit. Dan agar bibit itu tumbuh dan berbuah ia harus senantiasa disiram dan dipupuk oleh ketaatan kepada Allah.
Kita memang tidak bisa mengukur atau memprediksikan besar kecilnya kadar keimanan seseorang, namun paling tidak kita bisa melihat bias dan imbas keimanannya dari libasut taqwa, pakaian takwa yang dimilikinya dan implementasi iman berupa ibadah, amal shaleh dan ketaatan yang dilakukannya.
Seberapa besar dan banyak bibit yang dimiliki seseorang dan sejauh mana ia merawat, menjaga, menyirami dan memberinya pupuk dengan ketaatannya kepada Allah, maka sebegitu pulalah buah yang akan dituainya kelak di akhirat.
Rasulullah saw. pun menegaskan, “Al iman yaazidu bi thoat wa yanqushu bil maksiat. Iman akan bertambah/meningkat dengan ketaatan dan akan berkurang atau menurun dengan kemaksiatan yang dilakukan.

1. Sebab-sebab bertambah dan berkurangnya iman
Merujuk kepada hadis Nabi saw. di atas, jelas nampak bahwa sebab utama bertambahnya keimanan seseorang adalah jika ia berusaha selalu taat kepada Allah. Allah akan mencintai dan merahmati orang-orang yang taat kepada-Nya dan rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132). Semakin besar ketaatan yang diberikan seseorang kepada Allah apakah itu dalam rangka menuruti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya maka akan semakin meningkatlah kadar keimanannya.
Sebab-sebab yang lainnya yang juga bisa menjaga dan meningkatkan kadar keimanan adalah bila seseorang selalu mengingat Allah dan banyak bersyukur kepada-Nya. Atau bila diberi cobaan berupa musibah tetap sabar dan bersandar pada Allah serta tak pernah berburuk sangka pada-Nya (QS 29: 2) karena cobaan memang secara sunatullah terkait dengan pengujian kadar keimanan.
Ada sebuah siklus positif yang bisa terjadi pada diri seorang mukmin yakni bila ia memiliki keimanan, iman akan mendorongnya taat, menjalankan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya (QS 51: 56). Kemudian ibadah akan menghasilkan ketakwaan dan ketakwaan dengan sendirinya akan meningkatkan keimanan seseorang.
Sedangkan sebab menurun atau berkurang dan bahkan hilangnya keimanan seseorang adalah maksiat yang dilakukannya. Semakin banyak kemaksiatan kepada Allah yang dilakukan seseorang akan semakin menurun kadar keimanannya. Bahkan jika seseorang terjerumus melakukan dosa besar, pada saat ia melakukan maksiat itu dikatakan iman nya habis sama sekali.
Imam Ghazali mengumpamakan hati seseorang seperti lembaran putih bersih. Dosa yang disebabkan maksiat yang dilakukannya akan menyebabkan titik hitam di lembaran putih itu. Semakin banyak dosa kemaksiatan yang dilakukannya, maka lembaran itu akan hitam kelam. Dan hati yang pekat seperti itu tidak lagi sensitif terhadap dosa-dosanya.
Artinya tidak ada perasaan takut atau menyesal pada saat atau sesudah melakukan kemaksiatan. Apabila kemaksiatan yang dilakukan seseorang masih terkatagori as sayyiat atau dosa kecil, maka kebajikan-kebajikan yang kita lakukan insya Allah akan mengkompensasi dosa dosa kecil tersebut. Dalam hadis Nabi SAW dikatakan, “Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. “
Sementara itu di dalam surat Ali Imran ayat 135 disebutkan ciri orang beriman dan bertakwa adalah bila melakukan kekejian atau menzhalimi diri sendiri (dengan berbuat dosa ) mereka cepat-cepat ingat Allah dan mohon ampunan atas dosa-dosanya Allah Taala memang menyuruh kita bersegera bertobat memohon ampunan dan surga-Nya (QS 3: 133).
Hal yang harus dipenuhi dalam tobat adalah adanya unsur menyesali maksiat yang dilakukan, kemudian berhenti dan ketika berjanji sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya lagi.

2. Dampak Positif atau Manfaat Kekuatan Iman
a.       Memiliki kekuatan hubungan dengan Allah. ”Al-quwwatu silah billah“ (kekuatan hubungan dengan Allah ) adalah buah keimanan yang paling nyata. Karena seorang mukmin yang memiliki kekuatan hubungan dengan Allah tidak akan pernah berputus asa dari rahmat Allah, ia tidak akan karam dalam keputus-asaan. Karena ia akan selalu berpaling kepada Allah. Ia yakin Allah akan selalu menolong dan tidak pernah mengecewakannya. Cobaan sebesar apapun tak pernah membuatnya berburuk sangka terhadap Allah.
b.      Memiliki ketenangan dan ketenteraman jiwa. Iman yang dimiliki seseorang membuatnya tidak pernah takut pada manusia sepanjang ia tidak melakukan kesalahan. Ia hanya takut kepada Allah saja. Dengan mengingat Allah, hatinya akan senantiasa diliputi ketenteraman dan ketenangan (QS 13:28), sehingga Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh menakjubkan urusannya orang beriman, bila diberi karunia ia bersyukur dan itu baik untuknya. Dan bila diberi musibah ia bersabar dan itu lebih baik untuknya.
Iman dalam diri seorang mukmin menjadi stabilisator bagi jiwanya. Karunia yang teramat besar tidak akan pernah membuatnya ujub, takabur atau lupa diri melainkan ia tetap tenang dan mengembalikannya kepada Dzat yang Maha memberi: bahwa itu semua karunia Allah. Dan cobaan sebesar dan seberat apapun juga tidak akan membuatnya hilang akal, terguncang jiwanya dan berburuk sangka atau berpaling dari Allah.
c.       Memiliki kemampuan memikul beban apakah itu beban kehidupan ataupun beban dijalan Allah. Orang yang beriman akan mampu memikul beban kehidupan ataupun beban di jalan Allah tanpa berkeluh kesah. Ia akan berikhtiar semaksimal mungkin dan mengembalikan masalah hasilnya kepada Allah.
Fatimah putri Nabi saw. adalah contoh luar biasa seseorang yang ikhlas dan sanggup memikul beban yang berat. Suatu saat ketika ia bersama bapak dan ibunya serta pengikut –pengikut risalah bapaknya dan juga kaum nya mengalami tahun-tahun sulit masa pemboikotan, ibunda Khadijah sempat dengan sendu berujar kepadanya “Kasihan anakku sekecil ini kau sudah menderita,” jawaban Fatimah benar-benar mencengangkannya, “Ibu …mengapa ibu berkata begitu? cobaan yang lebih berat dari ini pun aku sanggup”
Memiliki ketabahan dan kesabaran dalam menanggulangi musibah. Sesungguhnya setiap mukmin akan dicoba oleh Allah dengan berbagai cobaan keimanan. Dan siapa yang sabar dan mengembalikan segalanya kepada Allah, ia akan diberi kabar gembira berupa, kasih sayang, kesertaan, ampunan dan surganya. Ketabahan dan kesabaran memang tak ada batasnya. Namun balasan dari Allah bagi orang –orang yang sabar pun tak ada batasnya. Tak terhitung dan berlimpah ruah seperti luapan air bah.

 

3. Tanda-tanda keimanan

Bukti keimanan seseorang yang paling nyata tentu saja adalah amal shaleh yang dilakukannya dan libasut taqwa (pakaian takwa) yang dikenakannya. Yang membedakan seorang muslim dari kufri adalah keimanannya kepada hal yang ghaib. Kemudian juga shalat karena dalam hadis dikatakan:bainal abdi wal kafir tarkus shalat , bainal abdi was syirik tarkus shalat (batas antara seorang hamba Allah dengan yang kafir adalah meninggalkan shalat dan batas seorang hamba Allah dengan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat. )
Di dalam QS 49:15 disebutkan orang yang beriman ialah yang tak pernah sedikit pun ragu terhadap yang diimaninya. Kemudian mampu mengatasi ujian-ujian keimanan dari Allah (QS 29:2) ada satu surat di dalam Al Quran yang berjudul Al-Mu’minun (orang-orang beriman )
Surat itu merinci karakterikristik orang -orang yang beriman yakni khusyuk dalam shalat, menjauhi perbuatan dan perkataan yang sia-sia, menunaikan zakat, menjaga kemaluannya, menjaga amanah-amanah dan menepati janji serta menjaga shalat-shalatnya.
Orang yang beriman dengan memenuhi kriteria-kriteria di atas akan mewarisi syurga Firdaus dan kekal di dalamnya selama-lamanya.
Ciri mukmin yang lain ada pada QS 48:29, yang bahkan ciri keimanannya itu tampak pula secara fisik berupa dahi yang hitam /berbekas karena selalu bersujud kepada-Nya.
Dan akhirnya orang yang istiqamah dalam keimanannya akan selalu memiliki sikap at tafa’ul (optimis), as syajaah (berani), dan ith mi’nan (tenang ) dalam kehidupan ini.

 

4. Terapi atau cara meningkatkan keimanan

Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan keimanan seseorang di antaranya ialah:
a.       Shalat tepat waktu dan khusyu, juga memperbanyak shalat nawaafil.
b.      Shaum. Selain shaum di bulan Ramadhan juga shaum-shaum sunnah seperti Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, Daud, Arafah, dan lain-lain.
c.       Memperbanyak tilawah quran. Dalam QS 8:2 disebutkan ciri orang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka dan bila dibacakan ayat-ayat Allah bertambah tambahlah keimanan mereka.
d.      Dzikir dan takafur. Rasulullah saw. terlihat menangis ketika turun surat QS 3: 190-191. Bilal lalu bertanya dan beliau menjawab: celakalah orang yang membaca ayat ini namun tak kunjung menarik pelajaran darinya. Dan kedua ayat tersebut berisikan tentang bertakafur terhadap tanda-tanda kekuasaannya.
e.       Jalasah ruhiah. Acara mabit, menginap, qiamul lail dan sahur bersama untuk kemudian berpuasa dan bila memungkinkan ifthar shaum bersama dengan didahului taujih, ruhiah akan besar efeknya bagi keimanan seseorang. Muadz bin Jabbal dulu acap mengajak sahabat-sahabat yang lain, “ijlis bina‘ nu’minu sa’ah” (duduklah bersama kami, berimanlah sejenak dengan penuh konsentrasi).
f.       Dzikrul maut. Mengingat kematian yang pasti datangnya apakah dengan menjenguk dan mentalkinkan orang yang sakaratul maut atau memandikan, mengkafani dan menguburkan maupun ziarah kubur kesemuanya juga dapat meningkatkan keimanan seseorang.

SUPLEMEN
Akidah secara etimologis berarti yang terikat. Dr Abdullah Azzam mendefinisikan istilah akidah sebagai perjanjian yang teguh dan kuat, terpatri dalam hati dan tertanam di lubuk hati yang paling dalam. Sementara Imam Syahid Hasan Al-Banna menjabarkan akidah sebagai urusan yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati menenteramkan jiwa dan menjadi keyakinan yang tidak bercampur dengan keraguan.
Akidah yang diajarkan Rasulullah saw. adalah tauhid dan tujuannya ialah untuk memperkuat ikatan /keyakinan dan hubungan dengan Allah.
Ada dua metode dalam mempelajari akidah atau yang berkaitan dengan masalah keimanan.
1. Metode asasi yakni metode salafi atau salafus shaleh.
2. Metode ghairu asasi yakni metode ilmu kalam.
Metode asasi adalah metode yang digunakan kaum salafus shaleh yakni metode yang digunakan di era Rasulullah, di era sahabat, tabi’in dan tabit tabi’in.
Metode ini adalah suatu cara mengenal Allah melalui Allah seperti ungkapan Abu Bakar Sidik, “Kalau Allah tidak memperkenalkan dirinya kepadaku niscaya aku tidak mengenalnya”.
Metode ini merupakan metode ahlus sunnah wal jama’ah dan metode yang kamil serta syamil.
Sementara metode kedua adalah metode ghairu asasi yang lebih dikenal sebagai metode ilmu kalam yakni menggunakan upaya pendekatan filosofis dan daya nalar dalam masalah keimanan atau akidah.
Metode ilmu kalam terbukti tidak dapat memberi atsar atau pengaruh keimanan bagi orang yang mempelajarinya juga tidak bisa menuntun kepada perilaku atau akhlak yang islami. Dan bukannya membuat kita semakin yakin malah semakin ragu kepada Allah dan Risalahnya.
Tokoh-tokoh ilmu kalam adalah Abul Hasan Al-Asyhari, Imam Ar-Razi dan Imam Al-Juwairi, namun mereka akhirnya insaf dan menyadari bahwa metode paling efektif dalam mempelajari dan menanamkan keimanan adalah metode Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Wallahu'Alam

1 comments: