Adab dalam Bermajelis, semoga bisa diaplikasikan dalam kehidupan Bermajelis.
Setelah
mendapatkan materi ini, maka peserta mampu:
1. Komitmen dengan prinsip-prinsip dan adab
dialog semampunya.
2. Ikhlas dalam memberikan pendapat.
TITIK TEKAN MATERI
Pokok-pokok
pikiran dan titik tekan materi yang harus disampaikan adalah:
Syarat-syarat
membangun majlis yang efektif dan bermanfaat
POKOK-POKOK MATERI
1. Adab-adab di dalam majlis
2. Adab-adab dalam berbicara
MARAJI'
Adab Majelis
Dalam
aktivitas dakwah dan harakah dibutuhkan banyak liqa’at/pertemuan majelis-majelis. Demikian pula ketika mihwar dakwah kita sudah bergerak ke
mihwar muasasi, kita tetap memerlukan
diadakannya majelis-majelis pertemuan. Dan terutama memasuki era kepartaian
inilah, penting bagi kita mengingat Adab Majelis dalam ajaran Islam agar kita
tidak terjerumus ke dalam majelis yang tidak di berkati Allah.
Adab Majelis dalam Buku Adab Halaqah
karangan Dr. Abdullah Qadiri dijabarkan sebagai berikut :
1.
Hendaknya orang-orang yang berada dalam
majelis berusaha serius.
Meminimalisir senda gurau yang berlebihan dan melampaui batas. Hal ini tidak
dimaksudkan membuat suasana liqo
dalam majelis menjadi kering, kaku, dan hambar. Suasana dalam majelis
diharapkan tetap diwarnai kehangatan, kasih sayang dan keceriaan tanpa harus
terjerumus ke dalam gurauan-gurauan yang berlebihan.
2.
Menjauhkan diri dari ta’assub yang telah menyebabkan orang-orang taqlid buta terjerumus ke dalamnya.
Karena tidak ada manusia yang sempurna atau ma’shum
(bebas dari dosa) selain Rasulullah SAW maka hendaknya kebenaran sajalah yang
patut diikuti. Dan bila ada perbedaan pendapat atau pandangan hendaklah
dikembalikan kepada dalil Allah dan Rasul-Nya yakni Al-Qur’an dan As-sunnah.
3.
Membersihkan majelis dari kebusukan ghibah (pergunjingan) dan namimah (menambah-nambahi) atau mencela seseorang dan jama’ah
tertentu. Alangkah baiknya bila orang-orang yang berada di dalam majelis
berusaha menjauhkan diri dari menodai orang lain dan sebaiknya malah melakukan
introspeksi muhasabah, merenungi
kelemahan diri sendiri.
4.
Pembahasan
kasus-kasus yang negatif yang dapat menghambat jalannya dakwah dilakukan dalam
rangka mengishlah/mengoreksi,
memperbaiki dan bukan dalam rangka mempermalukan atau menjatuhkan seseorang.
5.
Menghargai dan tidak menyia-nyiakan
waktu. Di
dalam majelis hendaknya senantiasa ditentukan daftar skala prioritas dalam
pengajuan masalah dan agenda acara yang akan dibicarakan. Kemudian
obrolan-obrolan yang iseng yang tidak berfaedah dan menghabiskan waktu
hendaknya dihindarkan.
Dalam
QS. Al Ahzab:70 Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar”.
Dan
Rasulullah SAW juga bersabda: “Barang
siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir hendaknya berkata baik atau
diam”.(HR Bukhari - Muslim)
Kemudian
bila ada yang mencerca kita, hendaknya kita tidak terdorong untuk membalasnya.
Sebab cercaan-cercaan tersebut justru mengungkapkan kebaikan kita.
Secara
lebih rinci dan praktis, Adab dalam Majelis juga dapat diuraikan sebagai
berikut:
1.
Memberi salam tatkala masuk atau
meninggalkan majelis. Rasulullah
SAW menyuruh kita untuk senantiasa berwajah ceria dan menyebarkan salam.
Pepatah mengatakan datang tampak muka, pergi tampak punggung. Jadi tidak
menyelinap datang dan pergi tanpa salam.
2.
Mengambil tempat yang masih kosong. Hendaknya tidak memaksakan diri ke
depan atau berdesak-desakan. Sebaliknya, carilah tempat yang masih kosong.
3.
Tidak melangkahi bahu tamu lain untuk mengambil tempat di depan yang
masih kosong dan kita justru diminta untuk mengisi tempat di depan.
4.
Berkenalan dan bercengkrama dalam
majelis sebelum acara di mulai. Dalam Islam, adab mujamalah
(tegur sapa dalam rangka kesantunan) sangat dianjurkan. Bila acara belum
dimulai, hal itu dapat dilakukan untuk mempererat silaturahmi dan ukhuwwah.
5.
Duduk di antara dua orang harus meminta
izin terlebih dulu.
Bila ada dua teman kita yang sedang duduk berdekatan, hendaknya kita tidak
langsung duduk di tengah-tengahnya tanpa seizin mereka berdua.
6.
Hindarkan bergurau berlebihan. Keceriaan, kehangatan dan canda tawa memang perlu
dihadirkan dalam majelis namun bukan berarti harus melampaui batas.
7.
Diam dan mendengar serta menyimak lawan
bicara yang sedang berbicara.
Memang jauh lebih sulit untuk menjadi pendengar yang baik ketimbang pembicara
yang baik. Tetapi hendaknya kita berusaha diam dan sungguh-sungguh
memperhatikan lawan bicara kita.
8.
Mematuhi arahan pembawa acara. Agar majelis berjalan tertib sesuai dengan agenda acara,
maka setiap peserta hendaknya mematuhi arahan pembawa acara.
9.
Berusaha hadir ke majelis sesuai dengan
syarat yang ditetapkan (waktu,
pakaian, dan persiapan lainnya). Hadir tepat waktu dengan pakaian yang sesuai
dan persiapan memadai sangat diperlukan bila kita memasuki sebuah majelis.
10.
Menjaga pandangan dari yang haram. Baik peserta laki-laki maupun perempuan hendaknya menjaga
pandangan dan kesantunan.
11.
Hormati wanita yang melintasi hadirin
laki-laki. Hendaknya
dihindari perbauran dan saling menggoda terutama bila peserta wanita melintasi
laki-laki.
12.
Memulai majelis dengan memuji Allah serta membacakan ayat-ayat-Nya dan
ditutup dengan do’a kafarat majelis.
Di dalam sebuah majelis, tentu saja
setiap peserta diharapkan aktif berbicara menuangkan ide, gagasan, pendapat
atau mengkritisi dan memberikan pendapat pada gagasan yang dilontarkan oleh orang
lain.
Namun
agar pembicaraan dalam majelis berjalan dengan baik, lancar mencapai target dan
tetap dalam kerangka ibadah yang diridhai dan diberkahi Allah, perlu kiranya
diperhatikan bagaimana adab berbicara dalam Islam.
Adaabul Hadits (Adab Berbicara)
Berbicara
adalah hal yang sangat manusiawi atau fitrah insaniyah. Sebagai ajaran yang syamil dan mutakamil (komprehensif dan utuh), Islam juga sangat memperhatikan
dengan lisan sehingga memberikan arahan yang termaktub dalam adaabul hadits (adab berbicara).
Dalam
sebuah hadits disebutkan bahwa lisan dapat membawa atau menyebabkan seseorang
masuk surga atau neraka. Dan di hadits lainnya diingatkan bahwa setiap anak
cucu Adam akan diminta pertanggung jawaban atas perkataan-perkataannya, baik
yang sengaja maupun tidak.
Manfaat adab dalam berbicara
1.
Bisa
menikmati kondisi diam sebagaimana Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya,
karena segala perkataan Rasul adalah bernilai dzikir dalam pengertian yang
luas. Bila beliau berbicara, maka bicaranya dzikir dan bila beliau diam,
diamnya adalah dalam rangka berfikir.
2.
Rasulullah
SAW bersabda: “Barang siapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau (lebih baik)
diam”.
3.
Bila
kita biasa mematuhi adab berbicara, maka kita akan memiliki kemampuan
menasehati secara baik. Karena jika terlalu mengumbar lisan, perkataan dan
nasehat kita membekas atau memberi kesan mendalam terhadap orang yang kita
nasehati, hendaknya kita senantiasa menjaga shalat
lail, shaum sunnah, tadarrus Al-Qur’an dan shalat sunnah rawatib.
4.
Terhindar
dari menjadi ulama yang su’ (ulama
yang buruk). Penampilan ulama su’ ini terkesan alim, islami namun ternyata di
dalamnya busuk, sesat dan menyesatkan. dalam QS. Ash-Shaff ayat 2-3, Allah
mengingatkan dan mengancam orang-orang yang tidak memiliki kesesuaian antara
kata dan perbuatan
Agar bisa meraih manfaat tersebut, seorang Muslim harus
mematuhi adab-adab berbicara, yakni :
1.
Wadih.
Bila kita
berbicara hendaknya kata-kata kita wadih
alias jelas, tegas, lugas dan mudah dicerna atau difahami. Hadits dari Aisyah
r.a: “Adalah kata-kata Rasulullah, kata-kata yang jelas dan mudah difahami oleh
orang yang mendengar di sekitarnya”. Apalagi tujuan komunikasi yang utama
adalah memberikan pengertian atau kefahaman kepada orang yang diajak berkomunikasi
Rasulullah SAW selalu mencontohkan bagaimana berbicara dengan wadih,
sampai-sampai sahabat-sahabat bisa menghitung kata-kata yang disampaikan
beliau.
2.
Sederhana dan tidak difasih-fasihkan. Hendaknya seorang Muslim berbicara
dengan bahasa yang sederhana, wajar tidak dilebih-lebihkan atau sok fasih.
Seyogyanyalah kita melihat siapa orang yang kita ajak bicara apakah seorang
yang terdidik atau bukan. Rasulullah SAW bersabda: “Berbicalah kepada manusia sesuai dengan kadar intelektualitas mereka”.
3.
Menghindari pengulangan pembicaan yang
bisa menimbulkan kejenuhan. Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud biasa memberikan taushiyah atau nasehat setiap hari
kamis, sehingga sahabat yang lain pernah berkata padanya: “Hai Abu Abdurrahman,
seandainya saja engkau bisa memberi nasehat setiap hari, niscaya kami akan
senang”. Namun Ibnu Mas’ud malah menjawab, kami hanya memberikan nasehat
sekali-sekali saja, karena Rasulullah juga hanya sekali-sekali saja memberi
nasehat. Pada saat kami berada di dalam majelis.
4.
Kata-kata yang digunakan hendaknya
hanya kata-kata yang baik dan bernilai ibadah: Hindarilah kata-kata yang bersifat laghwi (sia-sia / tidak bermanfaat).
Dalam hadits disebutkan oleh Rasulullah SAW: “Min husnil Islamil ma’i tarku ma laa ya’ nihi”.(HR. Tirmidzi).
Termasuk di dalam kebaikan keislaman seseorang, maka ia meninggalkan hal-hal
yang tidak berguna, termasuk kata-kata laghwi.
Yang termasuk kategori kata-kata baik adalah salam, tegur sapa, nasehat,
kata-kata yang memberi semangat, menghibur dan menghindari kata-kata laghwi (QS
23:3) sebagai ciri-ciri orang yang beriman.
Di
dalam majelis selain ada yang berbicara tentu saja harus ada yang menjadi
pendengar, karena itu selain adaabul
hadits dibutuhkan pula adaabul
istima’.
Dalam
tubuh manusia boleh dibilang telingalah organ yang paling awal berfungsi dan
kelak organ ini pula yang paling terakhir berhenti berfungsi.
Sahabat
Nabi SAW, Abu Darda r.a pernah mengeluarkan kata-kata bijak: “Hendaknya kita
belajar dari organ-organ tubuh yang diberikan Allah kepada kita. Mengapa Ia
memberi kita dua telinga dan satu mulut, itu artinya kita harus lebih banyak
mendengar ketimbang berbicara”.
Dan
memang ternyata jauh lebih sulit menjadi pendengar yang baik daripada pembicara
yang baik. Bahkan kadang-kadang kita menemui bahwa dalam satu majelis, ada
orang-orang yang berbicara pada saat yang bersamaan dan tidak mau saling
mendengar satu sama lain.
Karena
itu penting bagi kita belajar mendengar. Ada saat-saat berbicara, tetapi ada
juga saat-saat mendengar, sehingga penting bagi kita untuk mengetahui apa-apa
saja yang termasuk adab mendengar dalam perspektif Islam:
1.
Diam dan mendengarkan dengan baik dan
seksama, maksudnya
kita harus tahu kapan saat berbicara dan kapan saat diam dan mendengarkan. Bila
sedang terjadi pembicaraan hendaknya kita berlaku santun, mendengarkan dan
menyimak dengan baik dan seksama. Hendaknya kita tidak mengobrol dengan sesama
pendengar lainnya.
2.
Tidak boleh memotong pembicaraan. Bila memang penting bagi kita karena
ada hal yang penting yang harus diinformasikan atau dikoreksi, hendaknya kita
meminta izin dengan mengacungkan jari lebih dulu dan meminta maaf, bila tidak
diizinkan hendaknya kita catat untuk kita tanyakan atau sampaikan setelah
pembicara menyelesaikan uraiannya.
3.
Menerima dan menghargai pembicaraan orang
lain serta
tidak meninggalkannya di saat selama isinya dalam rangka ketaatan pada Allah
SWT, walaupun ada yang membosankan.
4.
Tidak menepiskan pembicaraan orang lain
walaupun kita
sudah mengetahuinya selama tidak ada yang salah dalam kata-kata tsb. Atha’bin
Rabah pernah diberitahu informasi oleh seseorang sementara hal itu sebenarnya
sudah diketahui oleh Atha’ sejak sebelum orang itu lahir. Namun Atha’ tetap
mendengarkan dengan penuh perhatian.
Tidak menunjukkan
pada hadirin bahwa kita yang paling atau lebih banyak tahu. Sehingga
misalnya sering berceletuk, berkomentar yang mengganggu, kecuali bila memang
ditanya atau dirasakan sangat per
0 comments:
Post a Comment